Rabu, 16 Desember 2009

WANI NGALAH LUHUR WEKASANE


Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti berani mengalah akan mulia di kemudian hari.

Orang boleh saja mencemooh pepatah yang sekilas memperlihatkan makna tidak mau berkompetisi, pasrah, penakut, lemah, dan sebagainya. Namun bukan itu sesungguhnya yang dimaksudkan. Wani ngalah sesungguhnya dimaksudkan agar setiap terjadi persoalan yang menegangkan orang berani mengendorkan syarafnya sendiri atau bahkan undur diri. Lebih-lebih jika persoalan itu tidak berkenaan dengan persoalan yang sangat penting.

Pada persoalan yang sangat penting pun jika orang berani mengalah (sekalipun ia jelas-jelas berada pada posisi benar dan jujur), kelak di kemudian hari ia akan memperoleh kemuliaan itu. Bagaimana kok bisa begitu ? Ya, karena jika orang sudah mengetahui semua seluk beluk, putih-hitam, jahat-mulia, culas-jujur, maka orang akan dapat menilai siapa sesunggunya yang mulia itu dan siapa pula yang tercela itu. Orang akan dapat menilai, menimbang: mana loyang, mana emas.

Memang, tidak mudah bahkan teramat sulit dan nyaris mustahil untuk bersikap wani ngalah itu. Lebih-lebih di zaman yang semuanya diukur serba uang, serba material, hedonis, dan wadag semata seperti zaman ini. Namun jika kita berani memulai dari diri sendiri untuk bersikap seperti itu, dapat dipastikan kita akan beroleh kemuliaan di kemudian hari sekalipun sungguh-sungguh kita tidak mengharapkannya, karena kemuliaan itu sendiri tidak bisa diburu-buru atau diincar-incar seperti orang berburu burung. Kemuliaan didapatkan dengan laku serta keikhlasan. Jika kita mengharap-harapkannya, maka semuanya justru akan musnah.Kemuliaan itu sekalipun berasal dari diri kita sendiri namun orang lain lah yang menilainya. Bukan kita. Kita tidak pernah tahu apakah kita ini mulia atau tidak. Orang lain lah yang bisa menilai itu atas diri kita.

ADIGANG, ADIGUNG, ADIGUNA, ADIWICARA


Pepatah Jawa ini dapat diterjemahkan sebagai mengunggul-unggulkan atau menyombongkan keelokan badan atau wajah, menyombongkan besarnya tubuh atau garus keturunan, menyombongkan ilmu atau pengetahuannya, dan menyombongkan kelihaian bicara atau merdunya suara.

Pepatah tersebut digunakan untuk menasihati orang agar tidak menyombongkan apa pun yang dimilikinya. Orang yang merasa diri mempunyai sesuatu, apa pun itu, kadang-kadang memang menjadi lupa bahwa semua itu hanyalah titipan dari Yang Maha Kuasa. Kesombongan karena merasa diri lebih dari orang lain ini sangat sering mengakibatkan orang yang bersangkutan berlaku semena-mena terhadap orang lain.

Orang yang merasa diri elok rupawan, punya kecenderungan menganggap orang lain tidak seelok dirinya. Orang yang menganggap dirinya besar dan kuat akan menganggap orang lain lemah. Orang yang merasa dirinya keturunan orang hebat berkecenderungan menganggap orang lain adalah keturunan orang rendahan atau tidak punya kelas sosial. Orang yang menganggap dirinya pintar cenderung menggurui dan menganggap orang lain tidak tahu apa-apa. Orang yang merasa dirinya pandai bicara akan berkecenderungan mempengaruhi orang lain dengan kelihaiannya berbicara.

Hal seperti itu dalam masyarakat Jawa dicontohkan dalam perilaku kijang atau menjangan (adigang). Kijang menganggap bahwa tanduknya adalah benda yang paling elok di dunia. Namun ia mati juga karena tanduknya itu. Entah karena diburu, entah karena tanduknya tersangkut belukar.

Perilaku adigung dicontohkan oleh binatang gajah yang tubuhnya demikian besar dan kuat. Ia merasa bahwa segalanya bisa diatasi dengan kekuatannya. Namun ia mati karena bobot tubuhnya itu karena ketika terperosok ke dalam lubang ia tidak bisa mengangkat tubuhnya keluar (saking beratnya).

Perilaku adiguna dicontohkan dengan perilaku ular yang berbisa. Ia menyombongkan bisanya yang hebat, namun mati di tangan anak gembala hanya dengan satu sabetan ranting kecil.

Perilaku adiwicara dicontohkan dalam perilaku burung yang merdu dan lihai berkicau. Ia merasa bahwa kicauannya tidak ada tandingannya di seluruh hutan, namun ia mati oleh karena melalui kicauannya itu pemburu menjadi tahu tempat bersembunyi atau tempat bertenggernya.

GIRILUSI JALMO tan KENO ing NGINO ( Di aTas Langit masih ada Langit )


Kata² tersebut sebenarnya artinya sangat simpel, yaitu “di atas langit masih ada langit”. Tapi seringkali kata-kata tersebut diartikan luas sehingga menjadi rumit dan panjang. sebenarnya kata-kata itu bermaksud menasehati siapa saja manusia yang hidup di dunia ini. Contohnya : seorang presiden yang kedudukannya sebagai pemimpin negara, tetapi masih membutuhkan masyarakat untuk membantu walaupun secara tidak langsung. Begitu pula dengan seseorang yang sangat jenius, orang itu berkata “meskipun aku seorang yang jenius tetapi aku masih membutuhkan seorang teman, keluarga bahkan anakku sendiri yang sangat kucintai”. Nah dari penggalan cerita di atas dapat kita simpulkan bahwa kata-kata tersebut bisa berarti sangat luas….